Posted by : Sara Amijaya Wednesday 27 February 2013



Based On True Story: Kisah seorang sahabat di kota Gudeg.
Tulisan ini meraih Juara III pada audisi Woman Miracle yang diadakan IIDN Kaltim
-------------------------------------------------

                                                         Miracle in Seven Days

 


“Dek, aku butuh suami dalam seminggu ini, tolong cariin ya!”  kulihat raut terkejut menghias wajah Syaza. “You must need some miracle sista…” . “Hei…I am serious  balasku cepat. “ Yea I’am very…very serious too” balasnya lagi. Tapi, seperti biasa semampunya Ia akan memenuhi permintaanku. Ia segera mengangkat telepon dan mulai menghubungi ustadzah-ustadzah yang dikenalnya. 
gambar dari sini
“Insyaallah, secepatnya dikabari Mba, banyaklah berdoa, hanya keajaiban Tuhan hingga Mba bisa menemukan suami dalam waktu satu minggu ini” Ucapan syaza membuyarkan lamunanku.

Aku menghela nafas panjang sekaligus berdoa semoga pencarian ini berujung manis. “Jadi, tak ada yang ingin diceritakan padaku?” Tanyanya lagi. Aku hanya tersenyum dan mengendikkan bahu, kemudian membaringkan diri di kamar kost Syaza. Syaza pasti bisa menunggu untuk sebuah penjelasan, sementara itu aku perlu waktu untuk menenangkan diri. “Istrahatlah Mba, aku ke kampus ya?”  Syaza berlalu dengan pengertian yang besar. “Terimakasih dek….”
Dalam kesendirian, gelora kesedihan kian meliputi hatiku. Ayah, wajah marahnya yang memerah terekam jelas dimataku saat ia menyampaikan keputusan finalnya, dan juga wajah ibu yang menangis mencoba menengahi pertikaian kami. 
Sungguh aku tak bermaksud menjadi anak durhaka, kepergianku sudah bulat aku akan mencari suami secepatnya karena itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan keyakinanku. Cara untuk bisa hidup mandiri tanpa harus terus saling menyakiti dengan ayah. 
Beliau masih terus  memaksaku untuk bekerja di sebuah perusahaan asing yang mengharuskanku melepas jilbab syar’iku. Aku tak mungkin menurutinya, setelah hidayah ini jatuh bangun baru bisa merasuki sendi-sendi hatiku.  
Apakah begitu memalukan, memelihara seorang anak gadis yang tidak bekerja? Tanya itu kerap memenuhi benakku. “Untuk apa aku menyekolahkanmu hingga sarjana, jika sekarang jilbab besar ini menghalangimu untuk bekerja” kata-kata ayah masih membekas di luka hatiku, setelah pilihanku untuk berwiraswastapun di tolaknya mati-matian. Duhai…mengapa tak  bisa memahami pilihan anak sendiri. Atau apakah karena itu adalah pilihanku? Ya, Aku…

Tumbuh sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara yang kesemuanya adalah perempuan membuatku tak memiliki nilai plus sama sekali di mata kedua orang tuaku. Kakakku, wanita istimewa dengan semua kecerdasan dan kemandiriannya. Langganan jawara kelas yang kini telah sukses menjadi wanita karier dengan gaji belasan juta tiap bulannya. Hidupnya makin sempurna dengan seorang pria tampan yang tak kalah suksesnya. Juga seorang putri kecil yang kian melengkapi kebahagiaan mereka. Hei…aku tak cemburu, sungguh aku menghargai pilihan hidup masing-masing saudaraku.
Adapun adikku, gadis manis dengan wajah innocent. Fisiknya yang lemah membuatnya dilimpahi banyak kasih sayang dan  perhatian berlebih dari orang-orang di sekitarnya terutama orang tuaku. Hmmm…jangan salah aku juga sama sekali tak merasa iri pada adikku ini. Kerapuhannya seolah menjadi magnet cinta bagi siapapun yang mengenalnya, tak terkecuali aku.
Aku? Ah ya…masih ada aku, aku hanya wanita biasa yang sedari kecil terbiasa mendapat perlakuan biasa-biasa saja. Aku tak secemerlang dan secerdas kakakku, yang membuatku tak terbiasa di puji dan di puja. Aku juga bukan gadis lemah yang perlu dijaga dan diperhatikan setiap saat.Ya...aku hanyalah aku yang biasa, yang terjebak di tengah-tengah saudara-saudara yang tak biasa (aku tak ingin menyebutnya luar biasa).
Namun, keadaan itulah yang membuatku memutuskan untuk mendalami agamaku. Paling tidak jika tak bisa menyenangkan orang tuaku secara duniawi, aku akan mencoba jalur ukhrawi. Menjadi anak sholehah yang akan menjadi amalan tak terputus bagi orang tuaku kelak.
Jadilah keluar masuk kelompok pengajian adalah hal rutin yang kulakukan. Tentu saja hal ini terus memicu pertikaian dengan orangtuaku terutama ayah. Beliau menginginkanku serius mendalami bidang akademis agar kelak bisa sesukses kakakku. Tapi, dengan keteguhan hati, qodarullah Allah menuntunku menuju sebuah manhaj yang pada akhirnya menjadi pelabuhan terdamai dan paling rasional yang kucari selama ini. Selalu dan hanya menggunakan dalil-dalil shahih yang mendasari setiap ilmu yang ditausyahkannya.
Berkah menuntut ilmu di manhaj ini, membuatku merubah total penampilanku, rambut panjangku yang biasa hanya tertutup ala kadarnya, kini tertutup rapat dengan jilbab lebar yang mencapai lututku. Hatiku yakin seyakin-yakinnya. Inilah yang aku cari. Hanya saja keyakinanku tak sepaham dengan keluargaku sehingga menimbulkan perseteruan hebat yang tak berujung dengan ayahku.
 Setelah penolakan kali kesian yang kulontarkan, baik terhadap idenya bekerja di perusahaan asing ataupun menikah dengan pria perlente pilihannya. Beginilah akhirnya, aku terlunta-lunta mencari suami. Aaargh…..
Aku mengerti maksud ayahku, jika aku tak ingin bekerja di perusahaan bergengsi maka cukuplah menikahi seorang pria yang bergengsi, itu akan cukup untuk menaikkan gengsi kedua orang tuaku. Tapi kedua pilihan itu sama sekali tak bisa kupilih, karena akan sangat bertentangan dengan prinsip yang telah kuyakini hingga mengakar dalam tiap aliran darahku.
 Ketika aku memilih pergi dan mencari calon suami yang mengerti dan sepemahaman denganku. Ayahku mentolerir keinginanku itu dengan limit 7 hari. Ya 7 hari, jika tidak aku harus memilih kembali  pilihan yang ditawarkan beliau. Hmmmfff…kemana harus kucari pria sholeh yang bisa menaikkan gengsi orang tuaku.
“Yaa hayyu yaa Qoyyum, birahmatika Astaghitsu Ashlihlii sya’nii kullahu walaa takilnii ila nafsii thorfata a’in…..” 
Melalui perantara Syaza, aku menempuh jalan Bunda Saudah. Memintanya mencomblangiku dengan pria-pria sholeh di luar sana, tentu saja dengan cara-cara syar’i. Tapi semua ustadzah yang dihubunginya hanya menjanjikan akan segera mengabari, tapi akupun paham mencari suami tak semudah membeli buah di pasar. 
Sementara menunggu perkembangan informasi dari Syaza, limit waktu yang ditentukan ayahku sudah berjalan setengahnya. Maka, akupun menempuh cara bunda Khadijah, menawarkan diriku pada seorang Ustadz muda yang sedang mencari istri. Tapi, ternyata kriteria  ustadz itu terlalu jauh untuk kujangkau, boro-boro hafalan 5 juz yang menjadi standar Ustadz tersebut, juz 30 baru beberapa bulan lalu kuhafalkan. 
Hari ke-6 sejak aku tiba di kostnya, semangat dan keyakinanku berkurang setengahnya. “Semangat Mba, berdoa terus kita sudah cukup berusaha biar Allah yang menentukan taqdir Mba selanjutnya” Kata-kata Syaza ternyata cukup ampuh untuk sedikit menopang semangatku. 
Selama 6 hari itu belum sedikitpun tanda-tanda kebahagiaan akan mendekatiku. Tak ada dering telpon, atau kabar yang memberi harapan. Yang ada hanyalah telpon dan sms dari ibuku yang terus membujuk untuk menyetujui menikah dengan pilihan ayah. “Menikahlah nduk, Pria itu baik dan tampan. Hidupnya pun mapan. Meski tak bekerja kau tak akan kekurangan dan akan merasa bahagia, Ayahmu pun tak akan terus memaksamu bekerja”
Bagaimana harus kujelaskan duhai ibu, aku tak butuh pria tampan bin mapan tapi kuragukan Ia beriman. Sungguh, aku mengenal pria itu, pria yang dekat dengan kehidupan malam dan hampir tak pernah menginjakkan kaki bahkan di sekadar beranda masjid.
Dan ketika hari ke-7 menyapa, aku terkurung oleh rasa putus asa. Pikiran nekad hampir menguasaiku, aku memutuskan untuk kabur dan tak lagi pulang ke rumah orang tuaku. “Jangan Mba, dien ini mengajarkan kita berbirul walidain. Jika bersikap begini orang tua Mba, akan semakin mengkambing hitamkan ajaran dien yang mulia ini” kata-kata Syaza menyentakku dan mengembalikanku ke sebuah pikiran sehat. 
“Bersikaplah lemah lembut Mba, cairkan kekerasan hati mereka dengan hikmah”. Aku tak tahu, harus bagaimana menghadapi orang tuaku, juga calon yang mereka tawarkan. Yang aku tahu, Allah selalu bersamaku. Dan cukuplah Dia sebagai penjagaku.
“Sya, aku pulang ya…” putusku siang itu. “Tunggulah sebentar Mba, Jangan pernah meragukan pertolonganNya. Hari masih siang. Bukankah deadline ayah mba baru berakhir tepat tengah malam nanti?”. Aku tertawa mendengarnya “ Sya, kau kira ini dongeng Cinderella?”. Syaza menatapku lagi dengan sedih, “Aku tak pernah meragukanNya. Justru karena itu aku memutuskan pulang, mencoba sekali lagi mendiskusikan hal ini dengan ayahku. Limit 7 hari ini terdengar konyol sekarang” syaza tampak serba salah. Mungkin ia merasa bersalah karena tak berhasil mencarikanku seorang suami. “jangan khawatir Sya, aku akan baik-baik saja, dan tetap istiqomah, insyaallah”. “Aku pamit Sya, makasih untuk semua” lama aku memeluknya dalam diam, mungkin aku tak akan kembali lagi, mungkin ini perjumpaan terakhir kami. Syaza adikku sayang, saudara yang kutemukan di samudera pencarian dien. Semoga ukhuwah ini abadi…
Hampir 10 meter aku berjalan dari kost Syaza, lamat-lamat aku mendengar suara terengah-engah Syaza berteriak sembari berlari menyusulku. “Mba…Mba…Alhamdulillah….subhanallah…Allahu Akbar…”
“Tenang dek, pelan-pelan aja. Ada apa?” tanyaku penasaran melihat binar-binar bahagia di matanya. “Mba, ada ikhwan lulusan Libya teman suami  ummu Aisyah baru datang, sekarang kita ke rumahnya mba?”
“Mmm…gak usah Sya, dia Lc. Pasti syaratnya berat. Aku gak sanggup” aku sudah memutus mimpi mendapatkan suami dalam 7 hari ini. Niatku fokus untuk kembali berdiskusi dengan orang tuaku saja. Itu lebih masuk akal ketimbang berharap mendapatkan suami dalam sisa waktu beberapa jam ini.
“Gak Mba, aku sudah menelpon Ummu Aisyah, beliau berkenan mendampingi Mba untuk proes ta’aruf. Sekarang ikhwan itu ada di sana” Setengah tak yakin aku mengikuti langkah Syaza yang terus menggandeng erat tanganku.
***
Sekarang sudah 8 tahun pernikahan kami, aku sungguh tak menyangka ikhwan yang melakukan proses ta’aruf denganku pada hari itu, sungguh-sungguh bersedia menikahiku dan membuatku berbahagia  hingga kini. Bahkan dengan kelembutannya, Ia berhasil memahamkan keluargaku akan kebenaran dien yang sempurna.
Jangan pernah meragukan kebesaran Allah, karena sesungguhnya tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkendak. I  found it, how about you????


- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -