Posted by : Sara Amijaya Thursday 31 May 2012


Aku tumbuh besar di sebuah kecamatan di ujung Kalimantan. Jadi, jangan heran jika kemudian aku menjadi begitu tidak mengenal berbagai produkperbankan, bahkan yang sangat umum digunakan oleh masyarakat perkotaan. Saat mulai kuliah di salah satu kota besar di Jawa barulah aku mengenal berbagai layanan perbankan. Tentu saat itu aku terkaget-kaget dengan berbagai kemudahan transaksi yang  disediakan oleh hampir semua perbankan.

Tepi laut Tanjung pinang, tempat nongkrong pavoritku dan suami

Ketika akhirnya menikah, Qodarullah aku menikah dengan seorang Banker.  Berniat menjadi istri sholehah, aku dengan senang hati mengikuti suamiku ke daerah rantau yang seyogyanya sungguh asing bagiku, Tanjung Pinang. Mendengarnyapun aku baru pertama kali. Ternyata kota itu  adalah kota pesisir dengan panorama yang menakjubkan. Pergi ke Singapura sama halnya pergi ke Batam. Hanya memerlukan 1 jam menyebrang laut. Tak perlu waktu lama, aku jatuh cinta pada kota tersebut. 

Mengikuti suami sama dengan Meninggalkan hunian nyaman dalam sangkar kasih sayang kedua orang tuaku. Tidak muluk-muluk, di awal menikah kami merasa cukup dengan rumah kontrakan berkamar satu. Sebagai pasangan muda yang masih menikmati manisnya madu pernikahan kami tak banyak memikirkan Rencana Masa Depan. Jalani apa yang di hadapan dan biarkan hidup mengalir dengan apa adanya.

Hidup kami yang begitu santai dan enjoy bukanlah sebuah isyarat akan sebuah kebebasan financial. Kami hanyalah tipe orang yang terlalu santai.  Padahal sebagai seorang Banker suamiku memiliki kesempatan untuk memperoleh rumah hunian yang cukup nyaman di kota tersebut. Hanya saja pikiran untuk tidak menetap di sana selamanya, membuat kami sama sekali tidak berkeinginan memiliki rumah pribadi. Aku yang sekarang baru saja berpikir, padahal hunian itu kelak bisa menjadi sebuah investasi. Tapi tak perlu disesali, toh hidup terus bergerak.

Seperti perkiraan semula, 2 tahun dirasa suamiku cukup mengecap pahit manis di kota tanjung pinang. Sebagaimana kebiasaannya yang tak pernah betah pada satu pekerjaan, maka Ia memutuskan resign dan memboyong kami, aku dan putri pertama kami ke Palembang, kota kelahirannya. Di kota ini lagi-lagi suamiku diterima bekerja sebagai banker. Pada awalnya lagi-lagi kami merasa cukup dengan menghuni rumah kontrakan. Namun, kelahiran putri kedua kami, membuat kami lebih berpikir panjang. Rasanya tak mungkin kami akan terus-menerus hidup nomaden, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. 

Rumah tipe 36
Akhirnya kami memutuskan membeli sebuah hunian di tengah komplek yang sedang berkembang. Bukan hunian mewah tentu, sekedar Rumah sederhana bertipe 36. Meski demikian label rumah sendiri sudah membuatku sangat senang. Suamiku bahkan sempat mengolok-olokku. Betapa dulu Ia ingin membelikan sebuah hunian yang lebih besar namun aku tidak berminat.  Setelah membeli rumah tersebut, kami tidak langsung mendiami hunian tersebut. Karena ada beberapa bagian yang dirasa suami perlu direnovasi sebelum menjadi layak huni. 

Sembari menunggu rumah kami siap huni. Aku memilih pulang ke kampung halamanku, ke Kalimantan. Melepas rindu sekaligus mempertemukan ayah ibuku dengan cucu baru mereka. Putri keduaku. Ternyata taqdir tidak bisa diduga. Kepulanganku dalam rangka liburan menimbulkan ide iseng untuk mengikuti tes CPNS. Tanpa persiapan, tanpa keseriusan, tapi tetap dengan sepengetahuan dan seizin suamiku. Maka, alangkah terkejutnya aku dan suami ketika mendengar pengumuman bahwa aku lolos dalam tes tersebut. Hal yang lumrah ketika mendengar kabar lolos tes CPNS adalah senang dan bahagia. Tapi daripada bahagia, kami malah cenderung kebingungan. Bagaimana mungkin aku bekerja di Kalimantan sementara suamiku di Palembang. Dan ya, tentu aku ingat dengan rumah yang bahkan belum sempat aku tinggali barang seharipun itu.

Kami memutuskan mengikuti harapan keluarga besar. Tetap tinggal di kalimantan dan mengambil kesempatan menjadi CPNS. Suamiku mengajukan mutasi, hal yang sangat sulit biasanya. Namun, entah bagaimana jadi demikian cepat disetujui. Dalam ketidakmengertian, kami meyakini inilah jalan yang dipilihkan Allah untuk keluarga kecil kami. Dan hati kami berangsur legowo dengan semua kejutan hidup yang baru saja terjadi.
PIM (Pondok Indah Mertua)
Di kota kecil ini, kami mulai menata hidup baru. Sementara ini kami masih tinggal di PIM (Pondok Indah Mertua), rumah orang tuaku. Meski Rumah orang tuaku besar dan sangat cukup untuk kami semua. Namun, sikap kemandirian yang terlanjur melekat membuat suamiku merasa tidak nyaman tinggal bersama di rumah besar tersebut. Aku dan suamiku mulai berbincang serius. Dengan kondisi 2 putri yang sudah mulai besar kami tak lagi merasa nyaman hidup berpindah-pindah. Mungkin diterimanya aku bekerja adalah sebuah cara Tuhan untuk membuka pikiran suamiku untuk mulai membangun impian di satu tempat. Kami sepakat mulai menata hidup dengan rencana masa depan yang lebih baik.

Impian pertama yang kucantumkan dalam list of dream tentu sebuah hunian nyaman. Tidak perlu besar dan mewah. Cukuplah sebagai tempat di mana kami berkumpul. Tempat kami beribadah. Tempat kami mendidik anak-anak kami. Sekaligus tempat kami membangun impian-impian masa depan kami. 

Aku sudah berpikir untuk menggunakan solusi perbankan agar segera memiliki hunian sendiri karena suamiku merasa sayang menjual rumah kami di Palembang. Namun kami masih berpikir keras dan menyimpan kesabaran untuk tidak tergesa-gesa memilih solusi perbankan yang kini marak ditawarkan. Aku masih berharap kami bisa menyisihkan sedikit dari penghasilan kami sendiri  untuk mewujudkan impian tersebut.

Dan ya, semoga tidak lama lagi, impian pertama kami di kota ini akan segera terwujud…….yang insyaallah akan terus disusul dengan terwujudnya impian-impian kami selanjutnya, Aamiin....Allahumma aamiin.....

***
Tulisan ini diikutkan dalam kompetisi blog "berbagi Cerita Bersama BCA"

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -